Minggu, 02 Januari 2011

Contextual Teaching And Learning ( Pembelajaran Konstektual)



1. Hakikat pembelajaran kontektual (Contextual Teaching And Learning) adalah konsep yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yaitu :
- Kontruktivisme (Contruktivism)
- Menemukan (Inguiry)
- Bertanya (Questioning)
- Pemodelan (Modelling)
- Refleksi (Reflection)
- Penilaian yang sebenarnya (Authentic Authenctic)
(pendekatan kontektual DEPDIKNAS 2005 : 5)
Tujuh Komponen CTL
a. Kontructivisme (Contructivism)
Contructivisme (contructivism) merupakan landasan berfikir (filosofi) pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedeikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas.
Konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta konsep-konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat.
Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Dalam pandangan kontrutivis, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan :
Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa
Memberikan kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri.
Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
b. Menemukan (Inguiry)
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri.
Observasi (observation)
Bertanya (questioning)
Mengajukan dugaan (hipotesis)
Pengumpulan data (date gathering)
Penyimpulan (conclusion)
c. Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran CTL. Bertanya dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berfikir siswa.
Bagi siswa kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inguiri, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasi apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.
Questioning dapat diterapkan antara lain :
Siswa dengan siswa
Guru dengan guru
Siswa dengan guru
Siswa dengan orang yang didatangkan ke kelas
Dan sebagainya.
d. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep dari masyarakat belajar adalah pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. Dalam kelas CTL, guru selalu mekasanakan dalam kelompok-kelompok belajar.
e. Pemodelan (Modeling)
Pemodelan yang dimaksud adalah, dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu ada model yang bisa ditiru. Dalam pendekatan CTL, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa dan juga bisa didatangkan dari luar.
f. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berfikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa lalu. Kunci dari refleksi adalah bagaimana pengetahuan itu mengendap di benak siswa. Siswa mencatat apa yang sudah dipelajari dan bagaimana merasakan ide-ide baru.
g. Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assesment)
Assesmen adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Assesmen dilakukan bersama dengan secara terintegrasi (tidak terpisahkan) dari kegiatan pembelajaran, yang penekanannya pada proses pembelajaran. Oleh karena itu data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran.
Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan melulu hasil, dan dengan berbagai cara, test hanya salah satunya. Itulah hakekat penilaian yang sebenarnya.
Dengan melakukan authentic assessment, pertanyaan yang ingin dijawab adalah “apakah anak-anak belajar?”, Apa yang sudah dikerjakan?”. Jadi siswa dinilai kemampuannya dengan berbagai cara, tidak melulu dari hasil ulangan tertulis.
Dengan mengacu pada prinsip-prinsip pendekatan CTL (Contextual Teaching and Learning) maka penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam pendekatan CTL (Contextual Teaching and Learning) siswa dapat menemukan konsep sendiri menggunakan fakta – fakta yang ada dengan jalan bertanya dalam masyarakat belajar yang diciptakan yang digunakan sebagai model untuk merefleksikan konsep yang didapat sehingga hasil yang didapat adalah hasil yang nyata melalui proses penemuannya sendiri.
2. Landasan Teoritik Pendekatan CTL (Contextual Teaching And Learning)
Ada beberapa teori belajar yang melandasi pendekatan konstektual untuk dapat diterangkap. Adapun teori belajar tersebut adalah :
(a) Teori Belajar Jerome Bruner
Teori belajar J. Bruner dikenal dengan teori belajar penemuan. Belajar penemuan merupakan usaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya sehingga mendapatkan pengetahuan yang benar – benar bermakna bagi dirinya (Psikologi pendidikan Drs. Wasty Soemanto : 123)
(b) Teori Belajar Ausubel
Belajar menurut Ausubel adalah belajar bermakna. Menurut ausubel belajar bermakna adalah proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam memori seseorang.
(c) Teori Belajar Piaget
Menurut Piaget, ada tiga bentuk pengetahuan pada seseorang yaitu pengetahuan fisik, logika-matematik, dan pengetahuan social. Pengetahuan social dapat ditransfer dari guru ke siswa, sedang pengetahuan fisik dan logika-matematik harus dibangun sendiri oleh orang tersebut (psikologi pendidikan Drs. Wastu Soemanto : 123)
Kesimpulan yang didapat dari landasan teoritik pendekatan CTL (Contextual Teaching and Learning) adalah teori belajar yang dapat diterapkan berdasarkan penemuan yang bermakna yang didapat dari transfer orang lain atau yang dibangun dari siswa sendiri.
3. Strategi Pembelajaran yang Relevan terhadap Penerapan Contextual Teaching and Learning (CTL)
Strategi yang sesuai dengan pendekatan kontekstual menurut Nur Hadi (2002:6) adalah sebagai berikut :
(a) Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)
CBSA adalah siasat atau strategi membelajarkan siswa melalui pengoptimalan kegiatan intelektual, mental, emosi, social dan motorik agar siswa dapat menguasai tujuan-tujuan intruksional yang harus dicapainya.
(b) Pendekatan Proses (Processing Learning)
Pendekatan proses adalah pendekatan pembelajaran yang lebih menekankan, pada bagaimana ilmu pengetahuan dapat dibelajarkan kepada siswa oleh guru.
(c) Pembelajaran Berdasar Kerja (Life Skill Education)
Pembelajaran berdasar kerja adalah pendekatan pengajaran dimana siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk belajar materi sekolah dan bagaimana materi tersebut digunakan di tempat kerja tersebut.
(d) Pengajaran Autentik (Authentic Intruction)
Pengajaran autentik adalah pengajaran menghargai siswanya belajar dalam konteks bermakna. Pembelajaran tersebut membantu berpikir dan memberikan ketrampilan siswanya dalam memecahkan masalah yang berguna dalam dunia nyata.
(e) Pembelajaran Berdasarkan Inguiri (Inguiri Based Learning)
Pembelajaran berdasarkan masalah adalah strategi pengajaran yang mencontoh pada metode ilmiah dan memberikan kesempatan untuk belajar bermakna.
(f) Pembelajaran Berdasar Masalah (Problem Based Learning)
Pembelajaran berdasarkan masalah adalah pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah-masalah dunia nyata sebagai konteks bagi siswa untuk belajar berfikir kritis dan terampil memecahkan masalah, serta mendapatkan pengetahuan dari konsep-konsep dasar.
(g) Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)
Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang memungkinkan siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan masalah-masalah tersebut dengan temannya.
(h) Pembelajaran Jasa (Service Learning)
Pembelajaran jasa adalah metode pengajaran yang mengkombinasikan pelayanan masyarakat dengan pelajaran sekolah yang didasarkan pada kesempatan untuk merefleksikan/menyatakan tentang pelayan itu, dan menekankan pada hubungan antara pengalaman pelayanan dan pembelajaran akademik.
Dari beberapa strategi pendekatan di atas, peniliti memilih pembelajaran kooperatif sebagai model dalam pendekatan kontekstual. Alas an pemilihan lebih rinci ada pada keterkaitan pembelajaran kooperatif dengan pendekatan kontekstual (sub bab V).
PEMBELAJARAN KOOPERATIF
1. Tinjauan Umum Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang siswa belajar bersama dengan kelompok-kelompok kecil dan saling membantu satu sama lain. Kelas disusun dalam kelompok yang terdiri dari 4 atau 5 siswa dengan kemampuan yang heterogen. Maksud heterogen adalah terdiri dari campuran siswa, jenis kelamin, ras/suku, kesenangan, dan latar belakang sosial yang berbeda. Hal ini bermanfaat untuk melatih siswa menerima perbedaan pendapat dan bekerja dengan teman yang latar belakangnya berbeda. Pada model pembelajaran kooperatif diajarkan ketrampilan-ketrampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik di dalam kelompoknya.
Unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut :
(a) Siswa dalam kelompoknya haruslah beranggapan bahwa “sehidup sepenanggungan bersama”
(b) Siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya, seperti milik mereka sendiri.
(c) Siswa haruslah melihat bahwa semua anggota di dalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama.
(d) Siswa haruslah membagi tugas dan tanggung jawab yang sama diantara anggota kelompoknya.
(e) Siswa akan dikenakan evaluasi atau diberikan hadiah/penghargaan yang juga akan dikenakan untuk semua anggota kelompok.
(f) Siswa berbagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya.
(g) Siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individu materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Beberapa keuntungan dalam pembelajaran kooperatif menurut slavin dalam buku Pembelajaran kooperatif :
Siswa bekerja sama dalam mencapai tujuan dengan menjunjung tinggi norma-norma kelompok.
Siswa aktif membentuk dan mendorong semangat untuk sama-sama berhasil. Aktif berperan sebagai tutor dalam kelompok sehingga dapat meningkatkan keberhasilan kelompok.
Interaksi antar siswa membantu meningkatkan kemampuan mereka dalam berpendapat.
Interaksi antar siswa membantu meningkatkan perkembangan kognitif mereka.
2. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif
Terdapat 6 langkah utama atau tahapan dalam model pembelajaran kooperatif. Keenam tahap pembelajaran kooperatif tersebut dirangkum dalam table berikut :
TABEL : 1
TAHAP – TAHAP MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF
Tahap-tahap Kegiatan Guru
Tahap – 1
Menyampaikan tujuan pembelajaran dan motivasi siswa Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.
3.
Tahap – 2
Menyajikan informasi Guru menyampaikan tujuan informasi kepada siswa dengan jalan demontrasi atau lewat bahan bacaan.
Tahap – 3
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transit secara efisien.
Tahap – 4
Membimbing kelompok bekerja dan belajar Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas.
Tahap – 5 Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing – masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
Tahap – 6
Memberikan penghargaan Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upa maupun hasil belajar individu dan kelompok
KETERKAITAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF
Salah satu komponen dari CTL adalah masyarakat belajar (Learning Community). Konsep learning Community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Dalam kelas CTL guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah dan dua kelompok (atau lebih) yang terlibat dalam komunikasi pembelakaran saling belajar. Seseorang yang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya.
Metode pembelajaran teknik learning community sangat membantu proses pembelajaran di kelas. Prakteknya dalam pembelajaran terwujud dalam :
- Pembentukan kelompok kecil
- Pembentukan kelompok besar
- Mendatangkan ahli kke kelas
- Bekerja dengan kelas sederajat
- Bekerja kelompok dengan kelas diatasnya
- Bekerja dengan masyarakat
Dari konsep masyarakat belajar yang ada, maka ada keterkaitan CTL dan pembelajaran model kooperatif. Keterkaitan itu adalah siswa harus menemukan konsep dan bertanya yang diciptakan sendiri pada kelompoknya, sehingga siswa akan lebih berkomunikasi dan menyelesaikan masalah dengan teman satu kelompok dan hasilnya akan lebih diterima karena hasil itu adalah dari pemikiran anggota kelompok.
2.2. Pengertian Belajar
Menurut RERGUTNRIE dalam bukunya (the psychology of learning) mengemukakan definisi belajar yang artinya sebagai berikut berbuat sesuatu, belajar untuk menulis, belajar untuk bermain sky, pendek kata ialah hasil suatu kecakapan atau keahlian khusus atau sanggupan dari beberapa prestasi. Jadi pengertian belajar ini adalah adanya perubahan-perubahan yang menuju ke arah yang lebih sempurna (maju) dan perubahan-perubahan itu dikarenakan adanya latihan-latihan yang disengaja (TIM MKDK hal : 110) psikologi pendidikan.
Teori-teori belajar dari psikologi humanistic
Tujuan utama para pendidik ialah :
Yaitu membantu siswa untuk mengembangkan dirinya yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka. (hama check 1977 : 148). Menurut Rogers dalam bukunya Freedom to learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip belajar humanistic yang penting diantaranya adalah :
1. Manusia itu mempunyai kemampuan untuk belajar secara alami.
2. Belajar yang signifikan terjadi apabila mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
3. Belajar yang menyangkut suatu perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri dianggap mengancam dan cenderung unbtuk ditolaknya.
4. Tugas-tugas belajar yang mengancam diri adalah lebih mudah dirasakan dan diasimulasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
5. Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadinya cara yang berbeda-beda dan terjadinya proses belajar.
6. Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
7. Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggung jawab terhadap proses belajar itu.
8. Belajar atas inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya baik perasaan maupun intelek merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
9. Kepercayaan terhadap diri sendiri kemerdekaan, kreatifitas lebih mudah dicapai apabila terutama siswa dirasakan untuk mawas diri dan mengeritik dirinya sendiri dan penilaian diri orang lain merupakan cara yang kedua yang penting.
10. Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya. Keadalam pengalaman dan penyatuannya ke dalam dirinya sendiri mengenai proses perubahan itu (buku psikologi pendidikan Drs. Wasty Soemanto : 132)
Belajar dengan memecahkan masalah sendiri tanpa bantuan khusus memberi hasil yang lebih unggul, dan aturan yang ditemukan sendiri memberi kemampuan yang lebih tinggi dan akan diingat dalam jangka waktu yang lebih lama. Buku belajar-mengajar Prof. Drs. Nasution.M.A. p: 173
2.3. Fisika adalah cabang dari ilmu pengetahuan alam (sains). Oleh karena itu hakekatnya fisika dapat ditinjau dan dapat dipahami melalui hakekaktnya sains.
Beberapa saintis mendifinisikan sains sebagai berikut :
 Conant dalam sumaji, 1998, 161 : “Sains adalah bangunan atau deretan konsep dan skema konseptual yang saling berhubungan sebagai hasil dari eksperimen dan observasi, yang berguna dan bernilai untuk eksperimentasi serta observasi.
 Fisher dalam Sumaji, 1998, 161 : “Sains adalah bangunan pengetahuan yang diperoleh menggunakan metode berdasarkan observasi”
 Campbel dalam Sumaji, 1998, 161 : “Saint adalah pengetahuan yang bermanfaat dan praktis dan cara atau metode untuk memperolehnya”.
 Zen dalam Sumaji, 1998, 161 : “Sains adalah suatu eksplorasi kea lam materi berdasarkan observasi, dan yang mencari hubungan-hubungan alamiah yang teratur mengenai fenomena yang diamati serta bersifat mampu menguji diri sendiri”.
 Carin dan Sund dalam Sumaji, 1998, 161 : “sains adalah suatu system untuk memahami semesta melalui data yang dikumpulkan melalui observasi atau eksperimen yang dikontrol”.
 Dawson dalam Sumaji, 1998, 161 : “Sains adalah aktivitas pemecahan masalah oleh manusia yang termotivasi oleh keingintahuan akan alam disekilingnya dan keinginan untuk memahami, menguasai dan mengolahnya demi memenuhi kebutuhan.
Dari beberap definisi sains di atas maka dapat disimpulkan bawah : “sains terdiri dari dua aspek yaitu proses sains dan produk sains”. Proses sains eksperimen yang meliputi penemuan masalah dan perumusannya.
Penemuan hipotesis merancang percobaan melakukan pengukuran, menganalisa datan dan menarik kesimpulan. Produk sains (IPA) adalah berupa bangunan sistematik pengetahuan yang terdiri atas berbagai fakta konsep prinsip, hokum dan teori yang terorganisir,
Berdasarkan uraian ini maka fisika merupakan proses dan produk yang saling berkaitan. Ini berarti bahwa dalam fisika tidak hanya mendengarkan ceramah atau membaca teks saja, tetapi harus disertai dengan keaktifan dari siswa itu untuk dapat menemukan sendiri.
Berdasarkan pengertian belajar dan pengertian fisika maka hakekatnya belaja fisika adalah proses perubahan di dalam diri manusia yang tumbuh. Sebagai hasil eksperimentasi dan observasi serta berguna untuk diamati dan diekspermentasikan lebih lanjut.
2.4. Prestasi Belajar
Prestasi belajar adalah keadaan akhir yang diamati pada tiap satu bahasan sebagai hasil kegiatan pembelajaran yang dicapai individu keadaan akhir ditandai dengan tingkah laku yang dapat diamati.
Keterampilan, pehaman, dan pengetahuan yang dapat diukur dari skor nilai yang diperoleh siswa.
Prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh 2 faktor :
1. Faktor Intern
Factor intern adalah fakto yang berasal dari individu sendiri. Faktor ini misalnya faktor fisik / keadaan jasmani dari individu, faktor psikologis yang merupakan faktor kejiwaan / mental individu yang terdiri dari intelegen, bakat, minat serta motivasi.
2. Faktor Ekstern
Faktor ekstern adalah faktor yang berasal dari luar individu, misalnya faktor lingkungan, tempat individu tersebut dilahirkan, baik tempat tinggal, bermain dan sebagainya. Faktor sosial yang merupakan faktor lingkungan pergaulan yang meliputi orang tua, guru, teman. Faktor alat serta instrument yang semuanya berhubungan dengan pembelajaran.
Dalam menilai seberapa jauh tujuan pembelajaran khusus telah dikuasai oleh para siswa, dapat digunakan tes. Pengertian tes adalah sederatan pertanyaan / latihan / alat lain yang digunakan untuk mengukur ketrampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan / bakat yang dimiliki oleh individu / kelompok. Tes menurut Ibrahim (1996) meliputi tes tertulis dan lisan yang digunakan untuk mengukur tingkat pemahaman siswa terhadap tujuan pembelajaran khusus dan tes perbuatan yang digunakan untuk mengukur ketrampilan siswa yang terkandung dalam tujuan pembelajaran khusus (missal lompat tinggi. Melukis)

Sabtu, 01 Januari 2011

Pendidikan Karakter



Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan.
Lebih dari itu, pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat awal abad ke-19 kian dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi.
Polemik anti-positivis dan anti-naturalis di Eropa awal abad ke-19 merupakan gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal dengan pendekatan psiko-sosial menuju cita-cita humanisme yang lebih integral. Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte.
Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.

Empat karakter
Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.

Pengalaman Indonesia
Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik, dan perilaku keseharian, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-religius menjadi relevan untuk diterapkan.
Pendidikan karakter ala Foerster yang berkembang pada awal abad ke-19 merupakan perjalanan panjang pemikiran umat manusia untuk mendudukkan kembali idealisme kemanusiaan yang lama hilang ditelan arus positivisme. Karena itu, pendidikan karakter tetap mengandaikan pedagogi yang kental dengan rigorisme ilmiah dan sarat muatan puerocentrisme yang menghargai aktivitas manusia.
Tradisi pendidikan di Indonesia tampaknya belum matang untuk memeluk pendidikan karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam kehidupan bermasyarakat. Pedagogi aktif Deweyan baru muncul lewat pengalaman sekolah Mangunan tahun 1990-an.
Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka membuat anak didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang dikatakan guru.

Loncatan sejarah
Apakah mungkin sebuah loncatan sejarah dapat terjadi dalam tradisi pendidikan kita? Mungkinkah pendidikan karakter diterapkan di Indonesia tanpa melewati tahap-tahap positivisme dan naturalisme lebih dahulu?
Pendidikan karakter yang digagas Foerster tidak menghapus pentingnya peran metodologi eksperimental maupun relevansi pedagogi naturalis Rousseauian yang merayakan spontanitas dalam pendidikan anak-anak. Yang ingin ditebas arus ”idealisme” pendidikan adalah determinisme dan naturalisme yang mendasari paham mereka tentang manusia.
Bertentangan dengan determinisme, melalui pendidikan karakter manusia mempercayakan dirinya pada dunia nilai (bildung). Sebab, nilai merupakan kekuatan penggerak perubahan sejarah. Kemampuan membentuk diri dan mengaktualisasikan nilai-nilai etis merupakan ciri hakiki manusia. Karena itu, mereka mampu menjadi agen perubahan sejarah.
Jika nilai merupakan motor penggerak sejarah, aktualisasi atasnya akan merupakan sebuah pergulatan dinamis terus-menerus. Manusia, apa pun kultur yang melingkupinya, tetap agen bagi perjalanan sejarahnya sendiri. Karena itu, loncatan sejarah masih bisa terjadi di negeri kita. Pendidikan karakter masih memiliki tempat bagi optimisme idealis pendidikan di negeri kita, terlebih karena bangsa kita kaya akan tradisi religius dan budaya.
Manusia yang memiliki religiusitas kuat akan semakin termotivasi untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat, bertanggung jawab atas penghargaan hidup orang lain dan mampu berbagi nilai-nilai kerohanian bersama yang mengatasi keterbatasan eksistensi natural manusia yang mudah tercabik oleh berbagai macam konflik yang tak jarang malah mengatasnamakan religiusitas itu sendiri.
Doni Koesoema, A, Mahasiswa Jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma
Sumber: Kompas Cyber Media

Benarkah Ujian Nasional Dapat Memengaruhi Peningkatan Mutu Pendidikan dan Etos Kerja? (Sebuah Masukan untuk Pemerintah)




SAYA terharu dan ikut merasakan keprihatinan Wakil Presiden Jusuf Kalla terhadap rendahnya etos kerja rakyat Indonesia. Keprihatinan ini jelas dirasakan oleh para pendiri republik ini. Karena itu, pendiri republik menetapkan bahwa salah satu fungsi penyelenggaraan pemerintahan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Untuk itu pula para pendiri republik menetapkan dalam UUD 1945 perlu diselenggarakannya satu sistem pengajaran nasional (sistem persekolahan) dan memajukan kebudayaan nasional. Para pendiri republik berangkat dari pengalamannya sendiri-sendiri mengikuti pendidikan sekolah yang bermutu dan perbandingan perkembangan negara-negara yang kini masuk dalam jajaran negara maju, adalah negara yang menjadikan sekolah sebagai wahana untuk membangun suatu negara bangsa melalui proses transformasi budaya. Pertanyaannya adalah seberapa jauh ujian nasional dapat menjadi penentu peningkatan mutu pendidikan dan etos kerja rakyat Indonesia?
Sebagai pelajar ilmu pendidikan yang telah berkesempatan mempelajari pendidikan sebagai ilmu pengetahuan sejak usia muda, yang berkesempatan terlibat dalam proses pembaruan pendidikan pada tahun 1963-1967 dan 1971-1981, yang berkesempatan mempelajari pelaksanaan pendidikan di negara maju (2 tahun di Amerika Serikat, 4 tahun di Jerman, 4 bulan di Jepang, dan 3 bulan di Singapura) dan secara terus-menerus menjadi pengajar ilmu pendidikan, melalui tulisan ini ingin memberikan tinjauan analitik secara ringkas tentang faktor yang memengaruhi peningkatan mutu pendidikan dan kedudukan evaluasi dan ujian nasional terhadap peningkatan mutu pendidikan.
SUATU pendidikan dipandang bermutu-diukur dari kedudukannya untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional-adalah pendidikan yang berhasil membentuk generasi muda yang cerdas, berkarakter, bermoral dan berkepribadian. Dalam bahasa UNESCO (1996) mampu moulding the character and mind of young generation.
Untuk itu perlu dirancang suatu sistem pendidikan yang mampu menciptakan suasana dan proses pembelajaran yang menyenangkan, merangsang dan menantang peserta didik untuk mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik berkembang secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya adalah salah satu prinsip pendidikan demokratis. Sebagai lawan dari penyelenggaraan pendidikan yang menjadikan pendidikan hanya sebagai sarana untuk memilih dan memilah.
Atas dasar ini pula, negara maju yang demokratis, seperti Amerika Serikat dan Jerman, tidak mengenal ujian nasional untuk memilih dan memilah. Kebijaksanaan yang diutamakan adalah membantu setiap peserta didik dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan: (1) menyediakan guru yang profesional, yang seluruh waktunya dicurahkan untuk menjadi pendidik; (2) menyediakan fasilitas sekolah yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan penuh kegembiraan dengan fasilitas olahraga dan ruang bermain yang memadai dan ruang kerja guru; (3) menyediakan media pembelajaran yang kaya, yang memungkinkan peserta didik dapat secara terus-menerus belajar melalui membaca buku wajib, buku rujukan, dan buku bacaan, (termasuk novel), serta kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik belajar sampai tingkatan menikmati belajar; (4) evaluasi yang terus-menerus, komprehensif dan obyektif.
Yang terakhir inilah, yang dalam pandangan saya berdasarkan penelitian, dapat memengaruhi dapat tidaknya kita menjadikan sekolah sebagai pusat pembudayaan berbagai kemampuan dan nilai, etos kerja, disiplin, jujur dan cerdas, serta bermoral. Melalui model pembelajaran yang seperti inilah, yaitu peserta didik setiap saat dinilai tingkah lakunya, kesungguhan belajarnya, hasil belajarnya, kemampuan intelektual, partisipasinya dalam belajar yang-menurut pengamatan saya-menjadikan sekolah di Jerman dan Amerika Serikat mampu menghasilkan rakyat yang beretos kerja tinggi, peduli mutu, dan gemar belajar.
Mereka setiap hari belajar selalu mendapat tugas dari semua mata pelajaran yang proses maupun hasilnya dinilai dan nilai-nilai ini memengaruhi nilai akhir semester dan seterusnya. Model seperti ini di Indonesia, dari periode Menteri Mashuri sampai Daoed Joesoef, telah dikembangkan melalui Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) di beberapa tempat (Padang, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Ujung Pandang, sekarang Makassar). Melalui sekolah-sekolah tersebut diterapkan prinsip belajar tuntas (learning for mastery) sebelum mencapai tingkat penguasaan tertentu belum boleh mengikuti pelajaran berikutnya dan belajar berkelanjutan (continuous progress).
Setelah enam tahun dicobakan, model tersebut ternyata lebih efektif dari sistem yang di sekolah biasa. Sayangnya, karena pertimbangan mahalnya pelaksanaan model tersebut, oleh Menteri Nugroho Notosusanto program tersebut tidak dilanjutkan. Pada periode itu, yaitu periode Menteri Mashuri, Menteri Soemantri Brojonegoro, Menteri Sjarif Thayeb, dan Menteri Daoed Joesoef, dari tahun 1968 sampai dengan periode Menteri Nugroho Notosusanto, Indonesia tidak menerapkan ujian nasional. Semula Menteri Daoed Joesoef akan menerapkan ujian nasional, pada saat itu sebagai Staf Ahli Menteri-yang baru menyelesaikan penelitian untuk disertasi doktor pada tahun 1981, saya menulis memo kepada Menteri Daoed Joesoef, yang intinya agar beliau tidak menerapkan ujian nasional.
Dari penelitian yang kami lakukan dan dilakukan di Amerika Serikat (Benjamin Bloom) ditemukan bahwa tingkah laku belajar peserta didik dipengaruhi oleh perkiraan peserta didik tentang apa yang akan dinilai (diujikan). Karena itu, ujian nasional yang umumnya menanyakan dimensi kognitif dari mata pelajaran akan menjadikan peserta didik selama belajar tidak merasa perlunya melakukan eksperimen di laboratorium, tidak perlu membaca novel, tidak perlu latihan mengarang, tidak perlu melakukan kegiatan terus-menerus secara berdisiplin dan berbagai kegiatan belajar yang dalam dirinya diarahkan untuk menanamkan nilai dan mengembangkan sikap. Sebab, kesemuanya itu tidak akan diujikan/dinilai. Dampak lebih lanjut adalah munculnya lembaga bimbingan tes yang mengakibatkan tidak lagi menjadikan sekolah sebagai pusat pembudayaan.
Saya tidak menolak keampuhan pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris sebagai indikator kecerdasan peserta didik. Akan tetapi, dengan pelaksanaan pendidikan yang demikian, SMA sebagai sekolahnya semua lulusan SMP. Bandingkan dengan Singapura, yang untuk masuk SMA (Junior College) peserta didik sudah disaring sejak kelas 5 SD, demikian juga dengan Jerman yang untuk memasuki SMA Jerman (Gymnasium), anak didik disaring sejak masuk kelas V, dan di Amerika Serikat yang sejak kelas 9 telah diadakan diversifikasi kurikulum, yaitu kurikulum untuk calon mahasiswa (Preparatory College) yang berbeda dari kurikulum untuk mereka yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi calon mahasiswa.
Mengapa? Karena SMA di Indonesia peserta didiknya meliputi juga mereka yang secara akademik tidak memenuhi syarat untuk menjadi calon mahasiswa dan dengan fasilitas tenaga guru yang tidak merata, baik jumlah maupun mutunya. Di Amerika Serikat dan Jerman, untuk menjadi mahasiswa-apa pun jurusannya-harus berhasil dalam pelajaran Kalkulus, Trigonometri, Fisika, dan Bahasa Asing. Dr Mochtar Buchori menyatakan bahwa kurikulum SMA kita hanya dapat diikuti oleh 30 persen peserta didik. Karena itu, dapat diramalkan bahwa mereka yang benar-benar dapat lulus ujian nasional, yang seharusnya minimum 6 (sesuai dengan pandangan Wapres) tidak akan lebih dari 40 persen.
Dan, dapat diramalkan pula bahwa bila demikian hasilnya akan berakibat hasil ujian nasional kembali hanya akan menjadi salah satu penentu kelulusan. Dan ini yang terjadi pada tahun 2004, yang karena rendahnya jumlah yang lulus, lalu dilakukan rumus konversi. Apalagi kalau dikembalikan ke daerah, akan kembali bahwa semua dapat diatur dan tidak ada aturan yang pasti. Dan ini, dalam pandangan saya, adalah akar dari budaya koruptif.
ATAS dasar serangkaian ulasan terdahulu, seyogianya ujian nasional yang sudah direncanakan tidak digunakan untuk menentukan kelulusan, apalagi untuk SMP. Karena, SMP adalah bagian dari wajib belajar, yang ketentuannya adalah lamanya pendidikan yang harus ditempuh, yaitu sembilan tahun. Rencana ujian nasional itu hanya dapat digunakan untuk: (1) memperoleh peta mutu hasil belajar pada tiga mata pelajaran yang diujikan sebagai dasar untuk melakukan serangkaian perbaikan dan pembaruan, (2) menentukan lulusan SMA yang dapat melanjutkan pendidikan ke universitas, untuk itu minimum nilai kelulusan adalah 6 (dalam skala 1-10), dan (3) menentukan lulusan SMP yang dapat melanjutkan pendidikan ke SMA.
Adapun kelulusan peserta didik ditetapkan oleh sekolah berdasarkan prestasi mereka yang diamati secara terus-menerus oleh para pendidik.
Secara ringkas kiranya dapat disimpulkan bahwa ujian nasional, seperti pendapat Prof Dr Winarno Surakhmad, tidak dapat menjadi penentu peningkatan mutu pendidikan, banyak elemen dari sistem persekolahan yang perlu ditata sebagai minimum quality assurance bagi meningkatnya mutu pendidikan. Dan, bila ketentuan UUD 1945 Pasal 31 dan UU Sistem Pendidikan Nasional secara konsekuen dilaksanakan, mutu pendidikan akan dapat mulai ditingkatkan.
H Soedijarto Guru Besar Ilmu Pendidikan UNJ, Ketua Umum Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia, Ketua Badan Akreditas Sekolah Nasional, Ketua CINAPS
sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0502/28/Didaktika/1579467.htm

Rabu, 14 Juli 2010

Keutamaan Tasbih
Mukaddimah
Secara bahasa, kata Tasbîh berasal dari kata kerja Sabbaha Yusabbihu yang maknanya menyucikan. Dan secara istilah, kata Tasbîh adalah ucapan سُبْحَانَ اللهِ . Ucapan ini merupakan dzikir kepada Allah yang merupakan ibadah yang agung.
Dalam hal ini, terdapat banyak kaidah di dalamnya dimana secara global dapat dikatakan bahwa setiap kaidah yang digunakan untuk menolak perbuatan bid’ah dan berbuat sesuatu yang baru di dalam agama, maka ia adalah kaidah yang cocok untuk diterapkan pula pada beberapa parsial (bagian) penyimpangan di dalam berdzikir dan berdoa, karena dzikir, demikian juga doa, adalah murni masalah ‘ubudiyyah kepada Allah Ta’ala. Sedangkan kaidah dari semua kaidah di dalam hal tersebut adalah bahwa semua ‘ibadah bersifat tawqîfiyyah, yang diformat dalam ungkapan, “Melakukan ibadah hanya sebatas nash dan sumbernya.”
Kalimat tersebut direduksi dari nash-nash yang beragam, diantaranya hadits shahih yang menyatakan bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang melakukan sesuatu yang baru di dalam urusan kami ini (agama) sesuatu yang tidak terdapat di dalamnya, maka ia tertolak.”
Dan hadits shahih yang lainnya bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda,
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
“Setiap sesuatu yang baru (diada-adakan) maka ia adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan (tempat pelakunya) adalah di neraka.”
Oleh karena itu, hendaknya kita berhati-hati di dalam melakukan suatu bentuk ibadah dan harus selalu mengacu kepada dalil-dalil yang jelas dan shahih serta kuat yang terkait dengannya sebab bila tidak, maka dikhawatirkan amal yang dilakukan tersebut justeru menjerumuskan pelakunya ke dalam hal yang disebut dengan Bid’ah tersebut sekalipun dalam anggapannya hal tersebut adalah baik.
Tentunya, di dalam kita melakukan apapun bentuk ibadah, termasuk dalam hal ini, dzikir, harus mengikuti (mutaba’ah) kepada Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam sehingga kita tidak menyimpang dari manhaj yang telah digariskannya.
Perlu diketahui bahwa mutâba’ah tersebut tidak akan tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari’at dalam enam perkara:
Pertama, sebab
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima (ditolak).
Contoh: ada orang yang melakukan shalat tahajjud pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab dengan dalih bahwa malam itu adalah malam mi’raj Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam (dinaikkkan ke atas langit). Shalat tahajjud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi bid’ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari’at. Syarat ini – yaitu: ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam sebabnya- adalah penting, karena dengan demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah namun sebenarnya adalah bid’ah.
Kedua, jenis
Artinya, ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima.
Contoh: seorang yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi ketentuan syari’at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan qurban yaitu onta, sapi dan kambing.
Ketiga, kadar (bilangan)
Kalau ada seseorang yang menambah bilangan raka’at suatu shalat, yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syari’at dalam jumlah bilangan raka’atnya.
Jadi, apabila ada orang shalat zhuhur lima raka’at, umpamanya, maka shalatnya tidak shah.
Keempat, kaifiyyah (cara)
Seandainya ada orang berwudhu dengan cara membasuh tangan, lalu muka, maka tidak sah wudhu’nya karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syar’ait.
Kelima, waktu
Apabila ada orang menyembelih binatang qurban pada hari pertama bulan dzul hijjah, maka tidak shah karena waktu melaksanakannya tidak menurut ajaran Islam.
Misalnya, ada orang yang bertaqarrub kepada Allah pada bulan Ramadhan dengan menyembelih kambing. Amal seperti ini adalah bid’ah karena tidak ada sembelihan yang ditujukan untuk bertaqarrub kepada Allah kecuali sebagai qurban, denda haji dan ‘aqiqah. Adapun menyembelih pada bulan Ramadhan dengan i’tikad mendapat pahala atas sembelihan tersebut sebagaimana dalam idul Adhha adalah bid’ah. Kalau menyembelih hanya untuk memakan dagingnya, boleh saja.
Keenam, tempat
Andaikata ada orang beri’tikaf di tempat selain masjid, maka tidak shah I’tikafnya. Sebab tempat I’tikaf hanyalah di masjid. Begitu pula, andaikata ada seorang wanita hendak beri’tikaf di dalam mushallla di rumahnya, maka tidak shah I’tikafnya karena empat melakukannnya tidak sesuai dengan ketentuan syari’at.
Contoh lainnya: seseorang yang melakukan thawaf di luar masjid haram dengan alasan karena di dalam sudah penuh sesak, thawafnya tidak shah karena tempat melakukan thawaf adalah dalam baitullah tersebut, Allah berfiman: “dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf”. (Q.S. al-Hajj: 26).
Terkait dengan kajian hadits kali ini, tema yang kami angkat adalah masalah keutamaan Tasbih, yaitu ucapan seperti yang disebutkan dalam hadits di bawah ini, dan lafazh semisalnya yang terdapat di dalam hadits-hadits yang lain.
Lafazh Tasbih dalam hadits kita kali ini, bukanlah satu-satunya lafazh yang memiliki nilai amal yang tinggi, ada lagi lafazh-lafazh yang lainnya yang bisa di dapat di dalam buku-buku tentang dzikir atau bab-bab tentang dzikir dalam kitab-kitab hadits.
Dzikir kita kali ini adalah dzikir yang terdapat di dalam hadits yang shahih dan telah disebutkan kapan waktunya, yaitu bisa dilakukan setiap hari namun tidak disebutkan lebih lanjut kapan tepatnya, sehingga dapat dikategorikan mengenai waktu yang tepatnya ini ke dalam dzikir yang mutlak alias kapan saja, di luar dzikir-dzikir yang telah ditentukan waktunya.
Semoga kita dapat memaknai, menghayati dan mengamalkannya sehingga tidak luput dari pahala yang sedemikian besar ini. Amin.
Naskah Hadits
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهَ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ فِي يَوْمٍ ِمائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ عَنْهُ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ .
Dari Abu Hurairah radliyallâhu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengucapkan ‘Subhânallâhi Wa Bihamdihi’ di dalam sehari sebanyak seratus kali, niscaya akan dihapus semua dosa-dosa (kecil)-nya sekalipun sebanyak buih di lautan.” (HR.al-Bukhariy)
Faedah Hadits
1. Hadits diatas menyatakan keutamaan dzikir سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ (Subhânallâhi wa bihamdihi) yang mengandung makna Tasbih (penyucian) terhadap Allah Ta’ala dan penyucian terhadap-Nya pula dari hal-hal yang tidak layak dan pantas bagi-Nya, seperti memiliki kekurangan-kekurangan, cacat-cela dan menyerupai semua makhluk-Nya.
2. Hadits tersebut juga mengandung penetapan segala pujian hanya kepada-Nya baik di dalam Asma` maupun shifat-Nya. Dia-lah Yang Maha Hidup sesempurna hidup; kehidupan yang tiada didahului ketiadaan (yakni bukan dalam arti; sebelumnya tidak ada kehidupan lalu kemudian ada) dan tiada pula kehidupan itu akan pernah hilang/sirna.
3. Barangsiapa yang bertasbih kepada Allah dan memuji-Nya sebanyak seratus kali di dalam sehari semalam, maka dia akan mendapatkan pahala yang maha besar ini. Yaitu, semua dosa-dosa (kecil)-nya dihapuskan dengan mendapatkan ma’af dan ampunan-Nya, sekalipun dosa-dosa tersebut sebanyak buih di lautan. Tentunya, ini merupakan anugerah dan pemberian yang demikian besar dari-Nya.
4. Para ulama mengaitkan hal ini dan semisalnya sebatas dosa-dosa kecil saja sedangkan dosa-dosa besar tidak ada yang dapat menghapus dan menebusnya selain Taubat Nashuh (taubat dengan sebenar-benarnya).
5. Imam an-Nawawiy berkata, “Sesungguhnya bila dia tidak memiliki dosa-dosa kecil, maka semoga diharapkan dapat meringankan dosa-dosa besarnya.”
Rujukan:
1. Kitab Tawdlîh al-Ahkâm Min Bulûgh al-Marâm, karya Syaikh. ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassâm, Jld.VI, Hal.409)
2. Tashhîh ad-Du’â’ karya Syaikh Bakr Abu Zaid, Hal. 39
3. Kesempurnaan Islam Dan Bahaya Bid’ah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah

Followers